(DIKIRIM UNTUK HARIAN WARTA KOTA)
Gegap gempita perayaan
menyambut hari kemerdekaan bangsa tercinta ini terasa agung dan mengharukan.
Berbagai pihak, segenap lapisan masyarakat, termasuk media massa turut
meramaikannya. Terlebih peringatan tujuhbelasan tahun ini baru merupakan kali
kedua setelah beberapa tahun lamanya tanggal 17 Agustus berada di bulan
Ramadhan. Perayaan 17-an absen demi kemuliaan dan kekhusyukan ibadah pada bulan
Ramadhan.
Peringatan tujuhbelasan,
terlepas dari aspek heroisme yang melekat pada masing-masing elemen bangsa,
memang sangat melegenda. Berbagai acara menyemarakannya. Upacara bendera di
lapangan istana negara, di kantor-kantor, di sekolah-sekolah, di gunung-gunung,
hingga di pendopo balai desa, menyeruakkan spirit patriotisme yang gagah. Ada
pula peringatan dalam bentuk karnaval, festival gapura, pentas kesenian,
pameran, pertandingan tarkam, dan berbagai perlombaan.
Khusus untuk acara
perlombaan, ada sedikit catatan yang menggelitik akal sehat saya. Perlombaan
yang saya maksudkan adalah perlombaan yang diselenggarakan secara mandiri oleh
satuan terkecil masyarakat/lingkungan, yaitu kampung atau RT/RW.
Jika berbicara mengenai
perlombaan pada acara tujuhbelasan itu, bayangan perlombaan yang asyik dan
menghibur ada di pikiran kita. Lomba makan kerupuk, balap karung, sepakbola
sarung, panjat pinang, dan sebagainya. Seru dan lucu! Saya sebagai penikmat,
penonton, penggembira atau sesekali sebagai peserta, tentu larut dalam
kebahagiaan yang mengasyikkan itu. Hiburan tahunan yang hangat, menghibur, dan
menyejukkan. Siapa sih yang tidak menyukainya. Naluri saya sangat menikmatinya.
pengumuman di mading kampung |
Namun sebenarnyalah ada
bagian di luar naluri saya, yang ingin berontak. Ialah, tentang sebuah
pertanyaan: kenapa dalam festival perayaan yang luar biasa itu harus
diidentikkan dengan lomba makan kerupuk. Apakah harus, lomba-lombanya diarahkan
ke acara hiburan yang mengundang reaksi gelak tawa? Saya, sekali lagi di luar naluri,
agak belum dapat menerimanya.
Beberapa tahun silam, di
kampung halaman saya di Cilacap, kami pernah mencoba format yang berbeda.
Perlombaan-perlombaan yang sifatnya menghibur seperti di atas tentu tetap
dipertahankan, karena sifatnya yang ikonik dan mengundang histeria – dan
terutama, gelak tawa. Ramai. Namun ada beberapa jenis perlombaan yang
dipertandingkan, dalam nuansa yang agak berbeda, kami selipkan. Yaitu lomba
mengarang, lomba menghafal Pancasila, lomba melukis, lomba menyanyi, dan lomba
baca puisi. Ini tentu bukan sebuah penemuan, karena tentu banyak lingkungan
yang sudah melaksanakan format ini (meski kebanyakan tidak bertahan karena ada
risiko yang siap harus ditanggung -tapi harus diantisipasi- bahwa pesertanya,
hampir pasti sedikit).
Misinya simple saja.
Tentang sebuah keinginan pagelaran tujuhbelasan yang ada manfaatnya. Saya
tidak mengecilkan arti lomba makan kerupuk dan sebagainya itu, seolah
tidak ada manfaatnya. Tentu lomba-lomba itu membawa manfaat, khususnya melatih
mental dan keberanian. Tapi menurut saya manfaatnya tidak bernilai ganda. Ganda
yang saya maksud, mestinya selain meningkatkan mental, juga bisa diharapkan
untuk mencetak kader atau bibit unggul.
Taruhlah misalnya lomba
puisi. Peserta dari awal sudah dikondisikan pada persiapan yang serius, lalu
mengantisipasi tampil di depan umum yang mendebarkan, dan akhirnya membacakan
puisi yang elok yang mengundang kekaguman. Anak-anak sebagai peserta pasti akan
terlatih dan terkondisi untuk sebuah momen yang lebih berkualitas. Dan jika
penampilannya bagus atau bahkan menjadi pemenang, bukan tidak mungkin dia akan
berkiprah di sekolahnya, lalu menjadi wakil sekolah, dan siapa tahu menjadi
juara. Ini esensi kader atau bibit unggul yang saya maksudkan.
Waktu itu kami juga
mengemas lomba melukis dalam format yang mungkin lebih menarik dan memancing applaus
penonton, daripada lomba melukis pada umumnya. Ialah lomba melukis yang
dimodifikasi menjadi lomba melanjutkan gambar. Seperti psychotest.
Panitia menyediakan pola garis, lengkung atau apapun sesuai selera panitia,
untuk dilanjutkan oleh peserta sesuai selera dan imajinasinya. Lomba melukis
yang ada sorak sorainya pun tercipta saat itu, membuat pesertanya antusias.
Menciptakan ansusiasme yang berefek ganda seperti ini tentu point banget
bukan?
Saat ini, saya masih
berharap semoga perayaan lomba tujuhbelasan di segenap penjuru tanah air,
dibuat dalam format yang lebih kreatif dan mendidik. Tidak lagi hanya akan
menghasilkan jagoan-jagoan yang sekedar kuat mental, tapi lebih dari itu.
Zachroni Sampurno
Pengamat sosial
Jl. Jambudipa 9 RT 1 RW 7 Cilebut Timur – Kabupaten Bogor
Nomor KTP
3201042405740001Bisa dibaca di sini:
(Dikirim tanggal 15 Agustus 2015, dimuat tanggal 21 Agustus 2015)
http://wartakota.tribunnews.com/epaper/index.php?hal=7
format 17-an
tujuh belas agustus
perayaan 17 agustus
lomba-lomba 17 agustusan