Jumat, 24 Februari 2017

DI SEKITAR ANAK-ANAK KITA



Setengah tahun terakhir ini, anak saya, Agree, agak introvert. Introvert yang saya maksud adalah, dia tidak seperti biasanya. Biasanya dia banyak bergaul dan banyak berkunjung ke rumah teman-temannya. Untuk sekedar ngobrol, bermain karambol, atau menonton televisi. Sekarang saya pun kehilangan momen menyaksikan dia bermain bola dan layang-layang bersama teman-temannya di halaman samping rumah. 


Belakangan ini dia lebih suka bermain di rumah, bahkan juggling bola kaki pun di rumah. Buntutnya paling-paling nonton saluran televisi sepakbola kesukaannya. Yang pasti sih dia tidak berkutat dengan ponselnya, karena ponsel Agree diamankan ibunya, sampai dia lulus SD nanti, Insya Allah. 


Ada perasaan sebal menyaksikan kebiasaan Agree berdiam di rumah. Kerapkali kami, terutama ibunya, memaksa Agree untuk keluar rumah, sekedar untuk bersosialisasi dengan teman-temannya.  Tapi dia bergeming. Tidak beranjak, juga tidak berontak. Pokoknya dia diam saja, dan memilih beraktivitas di rumah. Ketika saya dan isteri saya hendak pergi, dia hampir pasti memilih ikut kami, tidak memilih bermain bersama teman-temannya. Kalaupun dia harus keluar sendiri, itu karena dia berkegiatan di tempat les atau kursus.  


Soal di atas itu, saya menduganya sebagai masalah hormonal biasa, perkara lazim bagi anak-anak seusianya. Dia yang mulai baligh, sedang mencari bentuk dalam fase split personality-nya. Saya pun hanya bisa memantau dan sesekali ingin tahu perihal kegiatannya, bacaannya, lukisannya, dan coretannya. Sejauh yang saya tahu, Agree tetap ideal.


Hingga kemudian...

Tadi malam, kami dikagetkan dengan kejadian berikut ini.

Beberapa orang nampak sibuk mencari-cari sesuatu. Mencari orang tepatnya. Dan ternyata yang dicari adalah dua orang anak, teman sepermainan Agree. Saya belum tahu persis siapa orang-orang yang mencari-cari itu. Yang pasti mereka melakukan pencarian dengan hawa amarah.



Usut punya usut, ternyata teman-teman sepermainan Agree itu telah melakukan perbuatan ini: menghadang seorang remaja putri di jalanan sepi, lalu berusaha membuka paksa pakaiannya, lalu tangan-tangan mereka (maaf) masuk ke dalam, untuk kemudian meremas-remas buah dada remaja puteri tersebut. Dan orang-orang yang mencari kedua anak tadi barangkali orang tua atau saudara korban. Atau bisa jadi petugas.



Yang bikin nelangsa hati, kedua teman sepermainan Agree itu masih duduk di bangku sekolah dasar, masing-masing kelas 4 dan 5. Entahlah, saat ini keadaan chaos itu masih bergulir. Anak-anak yang dicari tersebut rupanya belum ditemukan. Lari dari rumah. Dan kemungkinan pelakunya memang tidak hanya dua anak tersebut.
.
Saat itulah, Agree bersuara, “Itulah kenapa Agree nggak mau main sama mereka.”


Saya lemas. Saya bersyukur. Saya bangga. Dan saya berdoa. 

Lemas, karena ternyata anak saya, juga dunia anak-anak saya, ada di sekitar budaya laknat yang mengitarinya. Naúdzubillaah. Lindungi anak-anak kami dari keadaan yang sedemikian itu ya Allah.
 .

Bersyukur, karena anak saya terhindar dari lingkungan pergaulan yang rusak itu. Alhamdulillaah, itu pasti karena Allah pasti sayang padanya.
.

Bangga, karena anak saya sudah memiliki filter yang baik dalam pergaulannya. Dia menarik diri pada saat yang mengharuskan dirinya mengambil sikap. Bagus, Gree! Keren!

.
Dan tentu saja saya berdoa, semoga anak saya, anak-anak saya, juga siapapun dia, selalu terjaga dan bisa menjaga atas dinamika jaman dan segala ekses-eksesnya. 


Anak saya melanjutkan berkisah, “Mereka suka ke warnet, ngelihat foto-foto dan video jorok.” 

Mungkin tidak hanya dari warnet, tapi juga melalui ponsel-ponsel pintar mereka.
.

Kembali saya terhenyak. Lemas, bersyukur, dan berdoa.
.

“Mereka sudah biasa pacaran di belakang sana,” katanya sambil menunjuk sebuah kamar mandi tua, yang kalau malam sepi dan gelap. Saya tidak berani berinterpretasi. Tapi banyak bayang-bayang yang saya kutuk bermunculan di pikiran saya. Semoga pikiran saya salah. 

Pacaran?


Sebenarnya saya menyesalkan kenapa anak saya tidak menceritakan keadaan itu sejak lama kepada saya. Tapi... memang, buat apa. Lapor kepada saya tentu bukan jalan keluar buat dia. Tidak ada gunanya. Dia tentu masih ingin menjaga nama baik teman-temannya. Atau jika saya dilaporinya, pasti akan ada larangan keras kepadanya untuk tidak lagi menjumpai teman-temannya. Dan itu hanya akan membuatnya beku. Tapi apapun, Agree yang hanya diam, kiranya sudah mengambil jalan yang aman dengan menarik diri dari pergaulan di lingkungannya. 


Saya masih terhenyak. Menghayati perasaan dan pikiran saya yang berkecamuk. Tentang ekses globalisasi yang sudah merangsek di lingkungan anak-anak saya. Sedemikian sudah menjajah anak-anak yang hidup di kampung damai, di tempat yang saya tinggali. Tempat yang seharusnya semarak dengan wajah dan tingkah anak-anak yang masih polos, yang bermain dengan cerah ceria dengan teman sebayanya. Bukan anak-anak yang sudah bermata nanar dengan nafsu jahat di kepalanya. Naúdzubillaah, Semoga Allah melindungi anak-anak kita semua. 

-------------
Zachflazz


Art by Agree

zachroni sampurno