Jumat, 21 Agustus 2015

LOMBA 17 AGUSTUS



(DIKIRIM  UNTUK HARIAN WARTA KOTA
 
Gegap gempita perayaan menyambut hari kemerdekaan bangsa tercinta ini terasa agung dan mengharukan. Berbagai pihak, segenap lapisan masyarakat, termasuk media massa turut meramaikannya. Terlebih peringatan tujuhbelasan tahun ini baru merupakan kali kedua setelah beberapa tahun lamanya tanggal 17 Agustus berada di bulan Ramadhan. Perayaan 17-an absen demi kemuliaan dan kekhusyukan ibadah pada bulan Ramadhan.

Peringatan tujuhbelasan, terlepas dari aspek heroisme yang melekat pada masing-masing elemen bangsa, memang sangat melegenda. Berbagai acara menyemarakannya. Upacara bendera di lapangan istana negara, di kantor-kantor, di sekolah-sekolah, di gunung-gunung, hingga di pendopo balai desa, menyeruakkan spirit patriotisme yang gagah. Ada pula peringatan dalam bentuk karnaval, festival gapura, pentas kesenian, pameran, pertandingan tarkam, dan berbagai perlombaan.

Khusus untuk acara perlombaan, ada sedikit catatan yang menggelitik akal sehat saya. Perlombaan yang saya maksudkan adalah perlombaan yang diselenggarakan secara mandiri oleh satuan terkecil masyarakat/lingkungan, yaitu kampung atau RT/RW.

Jika berbicara mengenai perlombaan pada acara tujuhbelasan itu, bayangan perlombaan yang asyik dan menghibur ada di pikiran kita. Lomba makan kerupuk, balap karung, sepakbola sarung, panjat pinang, dan sebagainya. Seru dan lucu! Saya sebagai penikmat, penonton, penggembira atau sesekali sebagai peserta, tentu larut dalam kebahagiaan yang mengasyikkan itu. Hiburan tahunan yang hangat, menghibur, dan menyejukkan. Siapa sih yang tidak menyukainya. Naluri saya sangat menikmatinya.
pengumuman di mading kampung
Namun sebenarnyalah ada bagian di luar naluri saya, yang ingin berontak. Ialah, tentang sebuah pertanyaan: kenapa dalam festival perayaan yang luar biasa itu harus diidentikkan dengan lomba makan kerupuk. Apakah harus, lomba-lombanya diarahkan ke acara hiburan yang mengundang reaksi gelak tawa? Saya, sekali lagi di luar naluri, agak belum dapat menerimanya.

Beberapa tahun silam, di kampung  halaman saya di Cilacap, kami pernah mencoba format yang berbeda. Perlombaan-perlombaan yang sifatnya menghibur seperti di atas tentu tetap dipertahankan, karena sifatnya yang ikonik dan mengundang histeria – dan terutama, gelak tawa. Ramai. Namun ada beberapa jenis perlombaan yang dipertandingkan, dalam nuansa yang agak berbeda, kami selipkan. Yaitu lomba mengarang, lomba menghafal Pancasila, lomba melukis, lomba menyanyi, dan lomba baca puisi. Ini tentu bukan sebuah penemuan, karena tentu banyak lingkungan yang sudah melaksanakan format ini (meski kebanyakan tidak bertahan karena ada risiko yang siap harus ditanggung -tapi harus diantisipasi- bahwa pesertanya, hampir pasti sedikit). 

Misinya simple saja. Tentang sebuah keinginan pagelaran tujuhbelasan yang ada manfaatnya. Saya tidak mengecilkan arti lomba makan kerupuk dan sebagainya itu, seolah tidak ada manfaatnya. Tentu lomba-lomba itu membawa manfaat, khususnya melatih mental dan keberanian. Tapi menurut saya manfaatnya tidak bernilai ganda. Ganda yang saya maksud, mestinya selain meningkatkan mental, juga bisa diharapkan untuk mencetak kader atau bibit unggul. 

Taruhlah misalnya lomba puisi. Peserta dari awal sudah dikondisikan pada persiapan yang serius, lalu mengantisipasi tampil di depan umum yang mendebarkan, dan akhirnya membacakan puisi yang elok yang mengundang kekaguman. Anak-anak sebagai peserta pasti akan terlatih dan terkondisi untuk sebuah momen yang lebih berkualitas. Dan jika penampilannya bagus atau bahkan menjadi pemenang, bukan tidak mungkin dia akan berkiprah di sekolahnya, lalu menjadi wakil sekolah, dan siapa tahu menjadi juara. Ini esensi kader atau bibit unggul yang saya maksudkan. 

Waktu itu kami juga mengemas lomba melukis dalam format yang mungkin lebih menarik dan memancing applaus penonton, daripada lomba melukis pada umumnya. Ialah lomba melukis yang dimodifikasi menjadi lomba melanjutkan gambar. Seperti psychotest. Panitia menyediakan pola garis, lengkung atau apapun sesuai selera panitia, untuk dilanjutkan oleh peserta sesuai selera dan imajinasinya. Lomba melukis yang ada sorak sorainya pun tercipta saat itu, membuat pesertanya antusias. Menciptakan ansusiasme yang berefek ganda seperti ini tentu point banget bukan?

Saat ini, saya masih berharap semoga perayaan lomba tujuhbelasan di segenap penjuru tanah air, dibuat dalam format yang lebih kreatif dan mendidik. Tidak lagi hanya akan menghasilkan jagoan-jagoan yang sekedar kuat mental, tapi lebih dari itu.

Zachroni Sampurno
Pengamat sosial
Jl. Jambudipa 9 RT 1 RW 7 Cilebut Timur – Kabupaten Bogor
Nomor KTP 3201042405740001


Bisa dibaca di sini:
 (Dikirim tanggal 15 Agustus 2015, dimuat tanggal 21 Agustus 2015)
 http://wartakota.tribunnews.com/epaper/index.php?hal=7

format 17-an 
tujuh belas agustus 
perayaan 17 agustus 
lomba-lomba 17 agustusan